Senin, 23 Mei 2011

Hadiah untuk Pekerja Berkedok Parsel, Bolehkah?

Dari Abu Humaid as-Sa’idi, “Rasulullah mengangkat seseorang dari kabilah al-Azd, yang bernama Ibnu Utbiah, sebagai amil zakat bagi Bani Sulaim. Ketika tiba di hadapan Rasulullah, Nabi menyuruh seseorang untuk menghitung harta yang terkumpul. Ketika itu, Ibnu Utbiah berkata, ‘Ini harta untukmu, sedangkan yang ini adalah hadiah (untukku, pent).’ Nabi lantas bersabda, ‘Mengapa engkau tidak duduk saja di rumah bapak dan ibumu, sehingga engkau diberi hadiah jika engkau memang diberi hadiah!


Setelah itu, Nabi berkhotbah. Setelah memuji dan menyanjung Allah, beliau bersabda,
"Aku mengangkat seseorang untuk mengerjakan tugas yang Allah bebankan kepada diriku. Lalu dia datang dan berkata, ‘Ini hartamu, sedangkan yang ini adalah hadiah untukku.’ Mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, sehingga diberi hadiah jika memang dia diberi hadiah? Demi Allah, tidaklah ada seseorang yang mengambil harta tanpa alasan yang benar, kecuali pasti dia berjumpa dengan Allah dalam keadaan memikul harta tersebut. Sungguh, aku tahu ada seseorang yang berjumpa dengan Allah dengan memikul unta yang bersuara, sapi yang bersuara, atau kambing yang mengembek.
Kemudian, Nabi mengangkat kedua tangannya sehingga putih ketiaknya terlihat jelas, lantas berkata, ‘Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan?’” Abu Humaid berkata, “Demikianlah yang kulihat dengan mata kepalaku, dan kudengar dengan telingaku.” (Hr. Bukhari no. 2597, dan Muslim no. 4844 dan 4845)

Ibnu Hajar mengatakan bahwa di antara kandungan hadits di atas adalah bahwa para pekerja (pejabat, PNS, karyawan swasta, dan lain-lain, pent) dilarang menerima hadiah dari orang yang dia bawahi.

Hal ini berlaku jika penguasa (instansi, yayasan, dan lain-lain, pent) tidak mengizinkannya. Pengecualian ini berdasar pada hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Qais bin Hazim dari Muadz bin Jabal. Beliau berkata, “Rasulullah mengutusku ke Yaman, lalu beliau bersabda, ‘Janganlah engkau mendapatkan harta sedikit pun tanpa seizinku, karena harta seperti itu adalah ghulul (pengkhianatan terhadap amanah).’”

Al-Muhallab mengatakan bahwa di antara kandungan hadits di atas adalah bahwa hadiah yang diambil oleh pekerja tadi diserahkan ke baitul mal. Ini berlaku umum, kecuali untuk harta hadiah yang diizinkan oleh penguasa.

Perkataan beliau tersebut didasari oleh kandungan hadits, yaitu bahwa Ibnu Lutaibah mengambil harta yang diambil dengan status sebagai hadiah, dan itu memang yang sesuai dengan rentetan kisah…. Meski tidak tegas menunjukkan demikian.

Perkataan serupa disampaikan oeh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, ketika membahas risywah (suap). Beliau berkata, “Pekerja tersebut wajib memulangkannya kepada orang yang memberi. Namun tidak salah jika (‘hadiah’ itu) diserahkan ke baitul mal, karena Nabi tidak memerintahkan Ibnu Lutaibah untuk memulangkan hadiah tersebut kepada orang yang memberikannya.

Ibnu Mundzir berkata bahwa sabda Nabi “mengapa dia tidak duduk di rumah bapak dan ibunya” menunjukkan bolehnya seorang pekerja menerima hadiah dari orang yang biasa memberi hadiah sebelum dia memegang jabatan.

Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir. Namun jelas pendapat beliau tersebut hanya berlaku jika nilai atau kadar hadiah tersebut tetap seperti yang dulu, sebelum si penerima hadiah mempunyai jabatan. (Fathul Bari: 20/206)

Sedangkan an-Nawawi dalam Syarh Muslim menyatakan bahwa di antara kandungan hadits ini adalah penjelasan bahwa hadiah untuk para pekerja (karyawan, pejabat, dan lain-lain) adalah haram dan merupakan bentuk ghulul (khianat amanah), karena pekerja tersebut berarti telah berkhianat terhadap amanah dan kewenangannya. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut disebutkan bahwa hukumannya adalah memikul hadiah tersebut pada hari kiamat, sebagaimana hukuman untuk orang yang mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan.

Dalam hadits tersebut, Nabi menjelaskan sebab diharamkannya hadiah untuk pekerja, yaitu karena hadiah tersebut disebabkan oleh kewenangan yang dimiliki oleh si pekerja. Sebaliknya, hadiah untuk non-pekerja (karyawan, pejabat, dan lain-lain) itu dianjurkan.
Telah dijelaskan bahwa harta yang didapatkan seorang pekerja dengan kedok hadiah, harus dipulangkan kepada pihak yang memberi hadiah. Jika tidak memungkinkan, maka diserahkan ke baitul mal. (Al-Minhaj: 6/304)

Syekh Abdul Muhsin al-Abbad mengatakan, “Terdapat beberapa hadits dari Rasulullah yang menunjukkan bahwa para pekerja (‘ummal) dan pegawai (muwazhzhafin) dilarang mendapatkan harta meski sedikit (dikarenakan kewenangannya, pent), walau dengan kedok hadiah.” (Kaifa Yu`addi al-Muwazhzhaf al-Amanah, hlm. 10)

Jadi, ketentuan di atas berlaku untuk hadiah siswa kepada guru, santri pesantren kepada ustadz atau ustadzah, guru kepada kepala sekolah, dan bawahan kepada atasan. Demikian pula, berlaku untuk lembaga kepada pegawai atau pejabat instansi yang menaungi atau berada di atasnya. Semisal pabrik obat kepada pejabat yang duduk di badan pengawasan obat, pabrik industri kepada pejabat di departemen perindustrian, dan seterusnya, baik dengan kedok THR, parsel hari raya, hadiah, dan sebagainya.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com

2 komentar:

  1. ternyata emang harus hati2 banget ya kak...

    tapi kalo untuk kasus guru ngaji pribadi dikasih sama muridnya?

    BalasHapus
  2. So pasti...
    Wah klo itu beda lagi dah,
    klo kondisi yang ini memang berbahaya untuk menerima hadiah dari orang lain karena dikhawatirkan akan berpengaruh pada pekerjaannya yang berhubungan dengan orang tsb...
    sedangkan untuk guru ngaji selama hadiah tsb tidak mempengaruhi keikhlasannya dalam mengajar atau memang untuk infak ke beliau memang datang dari muridnya insyaAllah Boleh, Allahu'alam

    BalasHapus

Jangan lupa tinggalkan komentar anda, baik berupa koreksi, kritikan maupun saran...